Saya teringat kembali tahun 2015 saat diundang ke Melbourne, Victoria-Australia bersama petinggi perusahaan telekomunikasi nasional dan pimpinan daerah.

Kami mendengar presentasi Profesor asal India, konseptor pengembangan smart city di Melbourne.

7 tahun berturut-turut, Melbourne mendapat predikat World’s Most Liveable City. Kota paling nyaman dan layak huni di dunia.

Meski cuma 2 malam di Melbourne, saya pribadi tidak betah dengan suasana disana karena suasananya membosankan. Saya amati suasana masyarakat disana. Orang-orang terlihat seperti patung berjalan dan robot. Sore hari selesai waktu kerja, sebagian warga kumpul di bar, ada juga yang menonton aktraksi jalanan.

Saat itu Melbourne sudah tamat soal Smart City, fasilitas kota terintegrasi dengan sistem dengan jalur trem terpanjang dunia.

Salah satu perkataan profesor ini yang membuat saya terngiang sampai sekarang dan kini terbukti visi itu dibutuhkan babyak negara entah itu bagian skenario global atau memang kebutuhan. Karena kita tahu Australia masih memiliki ikatan kuat drngan kerajaan Inggris sebagai negara commonwealth seperti Malaysia.

Profesor itu berkata “Visi Kami 2020 adalah ORGANIC CITY“. Saya tersentak dan langsung terlintas suasana di kampung halaman.

Tadinya saya pikir Melbourne punya rencana yang lebih canggih, lebih high tech dari Smart City.

Organic City bukan sesuatu yang baru di Aceh. Sudah dipraktekkan ratusan tahun lalu.

Contoh : Setiap rumah wajib ditanami 10 jenis tanaman holtikultura dan sayur-sayuran yang biasa dimakan sendiri.

Dulu waktu kecil, saya bisa petik sendiri buah-buahan yang ditanam di pekarangan rumah dan kebun samping rumah Aceh kakek di Peusangan.

Sepulang dari Aceh tak ada yang merespon mengenai program Organic City ini bahkan menyepelekan, ada yang antenanya kurang panjang, hati banyak penyakit, unsur politis juga sangat kental di semua aspek. Asal atasan senang.

Akibatnya anak-anak muda Aceh tidak punya kesempatan untuk mengeksplorasi ilmu yang diperoleh dari negeri seberang. Seharusnya Aceh memiliki laboratorium digital untuk mengembangkan pengalaman ilmu yang diperoleh dari negara lain untuk kemudian menyesuaikan dengan kearifan lokal di Aceh.

Jika kelak saya menjadi pemimpin di Banda Aceh, tentu program utama saya menjadikan Banda Aceh sebagai Organic City karrna sangat sesuai dengan kondisi Banda Aceh sebagai kota jasa dan membutuhkan nutrisi yang baik dan alami untuk kualitas hidup yang semakin baik dan berkelanjutan.

Dan hari ini terbukti, ketahanan pangan menjadi isu dunia. Dan disini masih tertipu dengan kampanye poin o…poin o ga jelas itu. Think.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *