Rokok dan Individualisme


A student holds a placard during an anti-tobacco awareness campaign on the eve of World No Tobacco Day in Mumbai May 30, 2008. World No Tobacco Day will be observed globally on May 31, 2008. Photo By Reuter-Daylife.com

Oleh : Teuku Farhan

Rokok tidak hanya berdampak kepada kesehatan perokok dan orang-orang disekeliling perokok yang bukan perokok yang terkadang harus “rela” menjadi “perokok” (red.perokok pasif) karena sikap individualis yang dipamerkan sebagian perokok, namun lebih luas lagi, rokok telah merubah pola pikir dan mendorong masyarakat menjadi masyarakat yang individualis. Tengok saja, ketika anda menggunakan transportasi umum, mengunjungi warung kopi, swalayan dan hampir semua tempat umum tidak luput dari asap rokok yang bergentayangan mencari mangsa.

Ini membuktikan, sikap Individualis atau lebih mementingkan kepuasan pribadi tanpa menghiraukan dampaknya terhadap orang lain telah tertanam di dalam karakter pribadi seorang perokok. Dalam data-data statistik kesehatan, anda akan temukan bahwa mayoritas perokok berasal dari kalangan miskin dan menengah ke bawah, aneh jika ada perokok yang berasal dari kalangan keluarga miskin menuntut kesejahteraan keluarganya sedangkan dirinya menelantarkan ekonomi keluarga dengan menghamburkan uang percuma dengan membeli rokok, tragis.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi sikap individualis dan keangkuhan ini ditunjukkan secara terang-terangan oleh pemimpin – pemimpin kita tidak terkecuali seorang gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang secara terang-terangan memperagakan dirinya sedang merokok dalam sebuah berita foto salah satu media massa lokal Aceh. Bukankah ini secara tidak langsung menjadi sebuah ajakan kepada perilaku individualis dengan cara yang sangat lembut tanpa ada yang menghiraukan namun berdampak besar kepada pola pikir dan pola hidup sehat masyarakat Aceh terlebih anak-anak yang senantiasa meneladani orang tua dan pemimpin-pemimpin masyarakat.

Sikap individualis juga ditunjukkan oleh perokok dari kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Aceh. Yang lebih mencengangkan lagi, berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian Kesehatan Depkes RI pada 2007 lalu yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Aceh, TM Thaib SpA Mkes, masyarakat Aceh tergolong sebagai perokok berat dan paling jorok, Aceh berprestasi dengan menempati juara pertama perokok terbanyak se-provinsi dengan rata-rata 18.5 batang/hari (Serambi, 3 Februari 2009). Artinya sekitar Rp.10.000 per hari atau Rp. 300.000 per bulan yang cukup untuk membantu ekonomi keluarga terbuang percuma untuk asap beracun yang kelak menjadi penyebab penyakit kanker paru-paru, jantung dan impotensi yang tidak hanya mendera perokok namun istri,anak,teman-teman dari perokok yang tidak merokok.

Bahkan anak Aceh yang berusia 10 tahun ke atas, sebanyak 29,7 persen tercatat sebagai perokok aktif, lanjut Thaib. Ini bisa diartikan, generasi muda Aceh pada masa yang akan datang akan menjadi generasi pecandu narkoba, karena 90 persen pengguna narkoba sebelumnya adalah perokok.

Sungguh tragis, bagaimana mungkin masalah sebesar ini didiamkan oleh banyak pihak, perokok yang secara tidak langsung “membunuh” secara perlahan generasi bangsa dan mendorong anak-anak yang belum menjadi perokok kelak menjadi seorang perokok karena setiap hari melihat teman sebayanya dan orang-orang dewasa merokok di tempat-tempat umum, belum lagi iklan rokok yang dipajang di sepanjang kota Banda Aceh dan iklan TV yang mengubang image betapa berbahayanya rokok dengan hal-hal yang tidak berhubungan dengan rokok seperti image cinta tanah air, kata-kata bijak, dan semua slogan yang menjurus kepada pembodohan dan penipuan terselubung demi produk “racun” itu laku.

Mereka yang perokok patut dipertanyakan “kejiwaan” dan rasa sosialnya sebagai manusia yang beriman dan beradab. Rasa solidaritas dan sosial yang tinggi tidak bisa hanya ditafsirkan dengan sumbangan baik pemikiran maupun materi saja namun juga harus ditunjukkan dengan sikap seseorang dalam memelihara kesehatannya sebagai salah satu aset terbesar dalam hidupnya dan tidak membahayakan maupun menjadi mudharat bagi orang lain.

Hak seseorang yang tidak merokok mulai dari bayi yang baru lahir,anak-anak,wanita,laki-laki dan orang tua, untuk memperoleh udara segar dan sehat diinjak-injak akibat asap rokok yang mudah ditemui ditempat-tempat umum. Bukankah ini kezaliman yang nyata. Semua pihak harus ikut bertanggung jawab dalam hal ini, mulai dari orang tua, guru,tukang becak sampai pejabat harus menunjukkan citra positif dan melarang kepada anak-anak untuk menegaskan jika merokok itu adalah aib dan perilaku jahat karena merusak diri dan orang lain, jika ini tidak dilakukan maka dikhawatirkan mereka kelak akan menjadi korban individualisme sebagian perokok yang individualis.

Perokok sebaiknya menghindari merokok di depan anak-anak, karena sifat anak-anak yang paling pintar meniru hal-hal baru yang belum pernah dicobanya. Pemerintah harus memiliki tanggung jawab penuh dalam hal ini karena menyangkut kualitas aset daerah yakni anak-anak generasi penerus bangsa yang sangat butuh teladan yang baik dari masyarakat.

Sosialisasi anti narkoba tak akan mengurangi jumlah pengguna narkoba selama pemerintah masih selalu beranggapan dengan bertumpu kepada pajak rokok dan menghalalkan rokok. Sebuah sumber menyebutkan bahwa negara-negara maju memiliki konsern yang tinggi terhadap kesehatan khususnya rokok, negara-negara maju sudah meninggalkan rokok dan enggan menerima pekerja yang perokok, sementara kita masih berkutat dan menghamba kepada rokok, artinya negara atau bangsa-bangsa tertinggal sangat sedikit perhatiannya terhadap masalah rokok.

Akhirnya, semua lapisan masyarakat harus turut berperan serta dalam memerangi segala sifat-sifat mementingkan diri sendiri tanpa ada rasa empati terhadap orang lain yang dapat ditimbulkan oleh berbagai macam media khususnya rokok demi mewujudkan generasi penerus bangsa yang bebas dari ketergantungan narkoba jenis rokok dan masyarakat yang lebih sehat.

*Penulis pernah bekerja sebagai tenaga teknis bidang pendidikan, kesehatan dan perempuan di Dewan Pengawas BRR NAD Nias


Comments

7 responses to “Rokok dan Individualisme”

  1. wuis makin mantap ja ni tulisan Bang Farhan….

    1. trims aul,,,lagi belajar nulis,,,saya coba masukin ke serambi ng dimasukin,,mungkin lagi diseleksi atau Serambinya yang udah nggak independen lagi seperti slogannya karena menyinggung gubernur…

  2. tapi saya ndak setuju jika rokok itu haram, walaupun saya ndak merokok ….

  3. assalamualaikum,..postingannya keren,..tapi lebih bagus lagi di spasikan bang setiap paragrafnya biar ngga numpuk gitu,..

    saya setuju jika rokok itu haram!!! kenapa? ya seperti yang anada deskripsikan.. memang sih merokok itu mengurangi gejala parkinson? tapi penyakit lain yang ditimbulkan? arterosklerosis, hipertensi, penyakit jantung, dll…

    terus efek untuk perokok pasif lebih bebahaya dibandingkan perokok aktif itu sendiri..

    kalau mau ngirim ke media, jangan ditayangkan dulu di blog bang!!! kalo sudah muat baru bisa. ini sesuai dengan etika jusnalistik

    @ilalang
    trims atas masukannya,,emang agak amburadul penyesuaian paragrafnya neh..saya udah kirim di media tapi kelamaan,,,belum dimuat juga,,,daripada basi lebih baik ditayangin diblog aja,,,thx

  4. saya ikut komentar tentang rokok, avatar saya perokok kelas bandeng :D, jangan tanya saya merokok atau tidak, karena kalaupun tidak aktiv, bisa dikatakan pasif.

    merokok tidak masalah kalau ada aturan, ada tempat, dan ada waktu, perokok berat tidak bisa diabaikan begitu saja, satu pertanyaan, apa benar perokok itu individualis? dari semua paparan dan kesimpulan yang diambil, kesannya memangnya individualis, tapi bagaimana dengan perokok yang ‘beradab’?

    *peace*

    1. ha..ha..baru tau ada perokok yang beradab…sepengetahuan saya perokok belum ada yang beradab, karena efek rokok juga merusak sampai ke syaraf otak, sehingga mengubah perilaku,,perokok cenderung pemarah, arogan dan sering stress, oleh karena itu mereka layak disebut individualis. Coba tanya kepada mereka yang berhenti merokok, gimana persepsinya, pasti mereka mengakuinya sendiri, seperti Sys NS (artis) yang berhenti merokok, dia mengakui sendiri kalo perokok itu egois dan mengubah prilaku kepada prilaku yang cenderung negatif.

  5. saya tidak setuju jika dikatakan bahwa masyarkat menjadi individualis karena merokok. budaya merokok telah hidup dari zaman dahulu. malah dahulu (mungkin sekarang masih) untuk menggabungkan diri dalam sebuah komunitas atau rapat desa, sangat kurang nyaman atau dianggap tinggi hati bila tidak merokok. sehingga hal itu menjadi kebiasan masyarakat di desa khususnya.

    kembali ke permasalahan awal, saya yakin masyarakat menjadi individualis bukan karena rokok, tapi karena masyarakt kita yang telah dikontaminasi oleh budaya luar (budaya barat) yang sarat denagn individualisme.

    kita bisa melihat bagaimana budaya barat memasuki dunia kita (budaya timur). melalui media, interaksi antarsesama (apabila orang kita berkunjung ke luar negeri), dll. selain itu, pedoman yang dulunya sangat kita tanamkan dalam hati, syariah muamalah yang dulu sangat kita terapkan dalam hidup, telah luntur sedikit demi sedikit seiring kuatnya rangsangan/pengaruh dari luar tersebut.

    jadi, saya kira hal itulah yang menyebabkan kita menjadi lebih bersifat individualistis. bukan karena rokok atau aktivitas merokok.

Leave a Reply to AuliaCancel reply