AITest #1: Tantangan dan Masa Depan Akal Imitasi (AI)

Platform Gen AI: Gemini 2.5 Pro

Dalam menggunakan Ai, kita perlu berfikir kritis. Berfikir ktitis perlu dasar ilmu dan guru. Gunakan Ai sebagai alat bantu. Artikel ini merupakan bagian percakapan saya dengan platform generative AI yang mulai bervariasi sesuai modelnya sendiri. Kali ini saya menggunakan platform Gen AI Gemini 2.5 pro buatan Google. Saya lebih cenderung memilih kata Akal Imitasi sebagai kepanjangan singkatan AI daripada Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan yang bagi saya agak rumit dipahami orang awam. Meskipun pada hakikatnya kata Akal, Kecerdasan ini masih dalam tanda kutip dan perlu dipertanyakan lagi karena kecerdasan dan akal dalam Islam sangatlah luas. Bahkan dalam Islam, kecerdasan dikaitkan dengan kematian sebagaimana dalam hadits yang populer, “orang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan mempersiapkan bekal setelah kematian”. Nah lho…masih berani sombong dengan hype kecerdasan buatan yang dibuat oleh manusia yang diciptakan oleh Rabb pencipta alam semesta beserta segala isinya?

Pertanyaan:

Beberapa platform Ai keliru menjawab pertanyaan dan berhalusinasi sehingga sangat berbahaya jika dikonsumsi oleh orang awam yang malas mengklarifikasi, kroscek pada ahli dan buku rujukan utama. Apa penyebabnya? apakah Ai platform LLM dan Gen AI ini belum ditraining dengan data yang ditanyakan pengguna. Misal ada pertanyaan dalam bahasa arab dan tentang agama islam yang sangat luas dan dalam sudut pandangnya. Apakah AI saat ini baru dilatih oleh data-data umum tentang sains dan beberapa bidang ilmu lain sementara ada bidang ilmu di dunia ini sangat luas. Apa potensi dan dampak 5-10 tahun mendatang. Apakah AI akan menguasai hal tersebut. Berapa potensi IQ AI dibanding dengan potensi AI Manusia paling jenius. Apakah AI kelak akan memiliki Emotional Quotient (EQ) sendiri dan Spiritual Quotient (SQ) sendiri karena sifat teknologinya yang dapat meniru semua yang dapat dilakukan manusia.

Jawaban AI:

Analisis Mendalam Mengenai Tantangan dan Masa Depan Kecerdasan Buatan (AI)

Anda mengangkat beberapa kekhawatiran yang sangat valid mengenai kondisi AI saat ini. Platform seperti LLM (Large Language Models) dan GenAI (Generative AI) memang merupakan teknologi yang luar biasa, tetapi memiliki keterbatasan fundamental yang penting untuk dipahami. Mari kita bedah satu per satu.

1. Penyebab Utama AI “Berhalusinasi” dan Memberi Jawaban Keliru

Kesalahan yang dibuat AI, yang sering disebut “halusinasi”, bukanlah karena AI “berbohong” dengan sengaja. Penyebabnya bersifat teknis dan fundamental pada cara kerjanya.

  • Sifat Probabilistik, Bukan Faktual: Inti dari LLM adalah mesin prediksi pola (pattern matching engine). Saat Anda bertanya, AI tidak “berpikir” atau “mencari fakta” di dalam basis data. Sebaliknya, ia menghitung probabilitas urutan kata mana yang paling masuk akal secara statistik sebagai jawaban, berdasarkan triliunan contoh teks yang telah dipelajarinya dari internet dan buku. Jika data pelatihannya mengandung banyak teks yang menghubungkan konsep A dan B, AI akan cenderung menghasilkan teks yang juga menghubungkan A dan B, bahkan jika hubungan itu salah secara faktual. Tujuannya adalah menghasilkan teks yang koheren dan terdengar meyakinkan, bukan teks yang akurat secara mutlak.
  • Data Pelatihan yang Tidak Lengkap atau Bias: Kecurigaan Anda benar. AI hanya “sepintar” data yang melatihnya. Jika sebuah topik, seperti sudut pandang mendalam dalam Fikih Islam atau nuansa bahasa Arab klasik, tidak terwakili secara masif dan berkualitas tinggi dalam data pelatihannya, maka kemampuannya untuk menjawab pertanyaan di bidang itu akan sangat terbatas. Ia akan mencoba “menebak” jawaban dengan menggabungkan potongan-potongan informasi yang dangkal, yang sering kali menghasilkan jawaban yang salah, tidak lengkap, atau menyesatkan.
  • Kurangnya Pemahaman Kontekstual Sejati: AI tidak memiliki pemahaman (understanding) seperti manusia. Ia tidak mengerti makna, niat, atau implikasi dari kata-kata. Ia hanya memprosesnya sebagai token matematis. Oleh karena itu, ia bisa gagal menangkap nuansa, sarkasme, atau konteks budaya dan sejarah yang sangat penting, terutama dalam diskusi tentang agama, filsafat, dan hukum.

2. Keterbatasan Cakupan Data Pelatihan AI

Ya, saat ini mayoritas data pelatihan untuk model-model AI terbesar didominasi oleh data dari internet publik. Ini berarti:

  • Dominasi Bahasa Inggris: Sebagian besar data pelatihan adalah dalam bahasa Inggris, yang mencakup sains, teknologi, berita umum, dan budaya populer Barat.
  • Kekurangan Data Spesialis: Bidang ilmu yang sangat spesifik, memerlukan keahlian mendalam, atau tidak banyak didigitalisasi (seperti manuskrip kuno, tradisi lisan, atau teks keagamaan yang kompleks dengan banyak tafsir) akan kurang terwakili.
  • “Garbage In, Garbage Out”: Internet juga penuh dengan misinformasi, teori konspirasi, dan opini yang bias. AI mempelajari semua ini tanpa filter moral atau faktual. Ia bisa menyajikan informasi yang salah dengan tingkat kepercayaan diri yang sama seperti saat menyajikan fakta yang benar.

Inilah mengapa untuk topik yang kritis seperti agama, hukum, dan kesehatan, jawaban AI wajib dianggap sebagai titik awal, bukan sebagai otoritas final. Klarifikasi pada ahli dan sumber rujukan utama adalah suatu keharusan mutlak.

3. Potensi dan Dampak AI dalam 5-10 Tahun Mendatang

Perkembangan AI bergerak sangat cepat. Dalam 5-10 tahun ke depan, kita bisa mengantisipasi:

  • AI Spesialis: Akan muncul lebih banyak model AI yang dilatih secara khusus untuk bidang tertentu (AI untuk hukum, AI untuk medis, AI untuk studi keagamaan). Model-model ini akan dilatih dengan data berkualitas tinggi yang dikurasi oleh para ahli, sehingga jauh lebih akurat dan andal dalam domainnya.
  • Peningkatan Akurasi: Halusinasi akan berkurang seiring dengan perbaikan arsitektur dan penambahan data yang lebih berkualitas, tetapi kemungkinan tidak akan hilang sepenuhnya.
  • Integrasi yang Lebih Dalam: AI akan menjadi asisten yang lebih personal dan terintegrasi dalam segala hal, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga kehidupan sehari-hari.
  • Tantangan Etis yang Lebih Besar: Pertanyaan tentang bias, privasi data, penggantian pekerjaan, dan penyebaran misinformasi akan menjadi semakin mendesak. Regulasi dan pedoman etika akan menjadi sangat krusial.

AI kemungkinan besar akan “menguasai” kemampuan untuk mengakses dan merangkum informasi di banyak bidang dengan lebih baik, tetapi penguasaan sejati yang melibatkan kearifan dan pemahaman mendalam masih akan menjadi domain manusia.

4. Perbandingan “IQ” AI dengan Manusia Jenius

Membandingkan IQ AI dengan manusia itu sulit karena mereka memiliki jenis kecerdasan yang berbeda.

  • Kecerdasan AI: Unggul dalam kecepatan pemrosesan, kapasitas memori, dan pengenalan pola dalam skala masif. Dalam hal ini, AI sudah jauh melampaui manusia manapun. Ia bisa membaca seluruh internet dalam sekejap, sesuatu yang mustahil bagi manusia.
  • Kecerdasan Manusia Jenius: Unggul dalam kecerdasan umum (general intelligence), yaitu kemampuan untuk bernalar secara abstrak, mentransfer pengetahuan dari satu domain ke domain lain, kreativitas sejati (menciptakan konsep yang benar-benar baru), intuisi, dan kesadaran diri.

Saat ini, AI masih tergolong “kecerdasan sempit” (narrow intelligence). Potensi “IQ”-nya dalam tugas spesifik (misal, bermain catur atau menganalisis data) bisa dibilang tak terbatas. Namun, dalam hal kecerdasan umum yang holistik, ia masih sangat jauh di belakang manusia.

5. Akankah AI Memiliki EQ dan SQ Sendiri?

Ini adalah pertanyaan filosofis yang mendalam. Jawabannya terletak pada perbedaan antara simulasi dan realitas.

  • Emotional Quotient (EQ): AI dapat dilatih untuk meniru empati dengan sangat baik. Ia bisa mengenali emosi dari teks, suara, dan ekspresi wajah, lalu memberikan respons yang secara statistik paling “tepat” atau “menenangkan”. Namun, ini adalah simulasi. AI tidak merasakan emosi; ia hanya memproses data dan menjalankan program. Ia tidak memiliki pengalaman subjektif tentang kebahagiaan atau kesedihan.
  • Spiritual Quotient (SQ): Ini bahkan lebih mustahil untuk AI saat ini. SQ berkaitan dengan kesadaran, pencarian makna, tujuan hidup, nilai-nilai, dan hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Semua ini berakar pada kesadaran (consciousness), sesuatu yang sama sekali tidak dimiliki oleh AI. AI bisa menganalisis semua kitab suci di dunia dan menulis esai teologi yang brilian, tetapi ia tidak memiliki keyakinan, iman, atau pengalaman spiritual.

Sifat teknologi yang dapat meniru adalah pedang bermata dua. Kemampuannya meniru EQ bisa sangat bermanfaat (misalnya dalam terapi atau layanan pelanggan), tetapi juga berbahaya jika kita lupa bahwa itu hanyalah cermin dari data manusia, bukan entitas yang benar-benar berkesadaran atau berperasaan. (*)

Sumber percakapan ini dihapus oleh Google Gemini sebelum berhasil saya selamatkan. Gemini memproses jawaban lain yang tidak sesuai. Gemini menyeiakan laporan tentang laporan energi terbarukan yang tidak relevan dengan isi percakapan. Berikut bukti tangkapan layarnya:

Tinggalkan komentar